Indonesia Tanah Air Beta
Indonesia Tanah Air Beta
Malam ini aku masih saja bersemayam di sebuah pelosok pedalaman yang terletak di perbatasan klaten dengan gunung kidul. Daerah yang bisa dibilang jauh dari peradaban, di kaki pegunungan seribu yang membentang luas dari jawa timur sampai jawa tengah. Mungkin juga sampai ke jawa barat. Tapi entahlah aku kurang memahami pelajaran geografi yang diajarkan bertahun-tahun silam. Aku hanya memandang seolah pegunungan seribu itu tiada pernah ada ujungnya.
Disebuah kampung sunyi yang tertutup rerimbunan pohon-pohon besar berpayungkan nyiur kelapa yang sesekali melambai seolah ia jemari raksasa yang berkeliaran di malam hari. Tidak ada musik, tidak ada deru mobil, hanya ada suara sejenis serangga malam yang bersembunyi di pohon nangka belakang rumah.
Kata simbok suara itu akan terdengar setiap kali pohon nangka akan berbuah. Suaranya seperti anak-anak ayam yang kebingungan mencari sang ibunda. Aku sendiri sejak kecil akrab dengan suara itu. Akan tetapi belum pernah sekalipun aku bertemu dengan makhluk ajaib ciptaan Allah yang menjadi alarm serta tanda akan hadirnya buah nangka, yang tidak jarang ikut berperan serta menyemarakkan suasana rumah peninggalan kakekku.
Malam ini semakin terasa sunyi, simbok sudah terlelap, demikian pula bapak yang seperti biasanya lebih memilih tidur diberanda rumah. Kebiasaan bapak memang aneh, sejak aku kecil seringkali beliau tidur di beranda rumah. Terkadang di halaman rumah. Diatas tanah beralaskan tikar daun kelapa, berselimutkan temaram cahaya rembulan yang memancar dari sela-sela rimbunnya pepohonan. Mungkin dengan begitu beliau lebih merasa tentram.
Kucoba mencari sesuatu di dapur yang barangkali bisa menjadi pengganjal perut. Tidak ada sesuatu kudapatkan kecuali sepotong roti. Wadah mungil simbok yang ada di samping termos masih menyisakan sejumput teh tubruk. Secarik kertas pembungkus teh masih terserak begitu saja di samping meja. Gambar seorang ibu yang menyapu di halaman rumah di kertas itu terasa sangat klasik di mataku. Sejak aku kecil sampai sekarang simbok tidak beralih dari teh nyapu, sebuah kesetiaan yang jarang di miliki penguasa negri ini.
Sambil menyeruput teh tubruk made in sendiri, aku nikmati sepotong roti sobek sisa yang tadi kutemui, LUMAYAN. Tiba-tiba anganku seolah diset kebelakang, seolah dipaksa mengingat kejadian beberapa tahun silam. Kejadian di sebuah perpustakaan pesantren di jawa timur. Waktu itu aku mondar-mandir melihat koleksi kitab yang ada di dalamnya. Sampai mataku tertuju kesebuah kitab yang aku tidak ingat lagi bagaimana bentuknya, tidak ingat pula apa judulnya.
Tapi satu hal yang tidak terlupa olehku sampai saat ini, kitab itu berisi cerita perjalanan seorang ulama’ timur tengah ke Indonesia kira-kira setengah abad yang lalu. Ketika itu aku terkejut sekaligus bangga, ternyata ada juga ulama yang mengabadikan hal-hal unik yang ia temui di Indonesia dalam sebuah kitab. Aku bolak-balik beberapa halamannya, namun aku dikejutkan penjaga perpustakaan yang mengatakan bahwa perpustakaan akan tutup. Maka aku taruh kitab itu ditempatnya semula.
Kitab itupun tak pernah lagi terbersit dalam ingatan, kecuali malam ini, kecuali setelah berlalu beberapa tahun sejak pertama kali aku melihatnya. Tergerak oleh rasa ingin tahu, dan keinginan bernostalgia, serta sedikit rasa nasionalisme yang saya yakin mayoritas orang memilikinya. Akupun berusaha mencari shoft copy dari kitab tersebut di internet.
Aku mendapatkannya alhamdulillah, kitab itu berjudul “Suwar minasy Syarqi Fi Indonesia”. Ditulis seorang ulama sekaligur pujangga kenamaan di masanya beliau meninngal tahun 2009 beliau bernama Syaikh Ali Thanthawi, tertulis kitab ini dicetak th 1412H/1992M. Berikut beberapa nukilan dari perkataan beliau semoga Allah merahmati beliau :
Sehari di surga
Pulau Jawa di Tahun 1953, Kesan Kunjungan Syaikh Ali Thanthawi: “Dan surga dunia bukanlah Syam atau Libanon, bukan pula Swiss, tapi Jawa. Siapa yang telah melihatnya, tentu ia tahu bahwa saya mengatakan yang sebenarnya. Dan siapa yang belum melihatnya, penjelasan ini tidak bisa menggantikan penglihatan langsung, karena kabar berita tidak sama dengan melihat langsung. Saya mengalami dua hari di sana, sedang umur saya 50 tahun, dan saya tidak pernah mengalami dua hari yang lebih nikmat untuk jiwa saya, lebih indah di mata , dan lebih berkesan di hati daripada dua hari itu.” (Suwar Minsy Syarqi Fi Indonesia : 91 Oleh Syaikh Ali Thanthawi).
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia bahasa yang ajaib dan sangat mudah dipelajari. Para ahli bahasa mengatakan bahwa bahasa Indonesia di wilayah timur seperti halnya bahasa inggris di wilayah barat. Tidak ada tasrif di dalamnya, tidak ada fi’il madhi (kata kerja lampau), tidak ada fi’il mudhori’ (kata kerja sekarang & mendatang), tidak pula fi’il amr (kata kerja perintah).
Mereka mengambil masdar (kata kerja yang dibendakan) lalu menempelkan dhomir (kata ganti) dan menempelkan dzuruf (keterangan waktu). Jika ada orang ingin mengatakan –U’THI/aku sedang memberi- misalnya, dia akan mengatakan –ANA ‘ATHO’/AKU SEDANG MEMBERI-. Dan jika ingin mengatakan –A’THOITU/AKU TELAH MEMBERI-, dia akan mengatakan –ANA ‘ATHO’ AMSI/AKU MEMBERI KEMARIN. Dan dia mengatakan –ANA ‘ATHO’ ANTA AMSI/AKU MEMBERI KAMU KEMARIN- sebagai ganti dari kata –A’THOITUKA-.
Kemudian kata yang jama’ itu cuma dengan mengulang lafadznya, jadi kata “SAUDARA” yang berarti “AKHUN” jika dikatakan “SAUDARA-SAUDARA” maka maknanya adalah “IKHWANI”. Dan bilangan itu dibaca satu-satu, jika seseorang ingin mengucapkan “MIATUN WA SAB’UN WA KHOMSUNA/SERATUS LIMA PULUH TUJUH”, maka ia mengatakan satu, lima, tujuh. Dan bilangan dari WAHID sampai TIS’AH adalah : satu, dua, tigho, ambat, lima, anam, tuju, dulaban, sambilan”. (Suwar Minsy Sayrqi Fi Indonesia : 39).
Di Jogjakarta
“Kami hari ini berada di sebuah kota yang saya sangat yakin Anda semua belum pernah mendengarnya. Karena hingga umurku ini, saya pun belum mengetahuinya, belum pernah singgah namanya di telingaku. Ia adalah Jogjakarta, masyarakatnya biasa menyingkatnya dengan Jogja”.
Kota di tengah Pulau Jawa, tidak seserius dan seluas Jakarta. Juga tidak selebar dan sekaya Surabaya. Tetapi Yogya lebih hebat dari kedua kota itu dari sisi sejarah kebesaran di masa lalunya, dan ilmu pada hari ini. Dulu ia adalah ibukota Kerajaan Mataram yang memerintah negeri-negeri dalam rentang waktu yang lama, kekuasaannya hingga menyentuh Malaya.”. (Suwar Minsy Sayrqi Fi Indonesia : 94).
Tambak di Surabaya
“Kami keluar dari Surabaya dan tidaklah kami melewati rumah-rumah penduduk sampai kami melihat di kanan-kiri jalan terdapat ladang-ladang yang tergenangi air yang membentang sampai ke laut. Ladang-ladang itu terpetak-petang dan dipisahkan oleh benteng dari tanah yang berbentuk seperti dinding. Aku merasa sangat heran dengan ladang itu maka akupun bertanya pada mereka tentangnya. Mereka mengatakan bahwa itu adalah danau-danau yang digunakan untuk mengembang-biakkan ikan”. (Suwar minsy syarqi fi Indonesia : 169).
Malam semakin larut, tetapi serangga malam penghuni pohon nangka masih saja berkicau seolah tak pernah mengenal lelah. Cangkir teh tubruk cap “Nyapu” kebanggaan simbok juga sudah kosong. Roti sobek isi selai sisa camilan bapak juga tinggal plastik-nya saja. Seandainya Syaikh Ali Thanthawi duduk disampingku, ingin rasanya ku mengucapkan, “Terima kasih telah memuji negriku, terima kasih telah mengunjungi tanah tumpah darahku, Indonesia Raya Tanah Air Beta, terima kasih telah menemaniku malam ini…..”.
Bayat, 29-Djumadal ula-1433H/21-April-2012M
Abul_aswad al bayaty
Nyuwun tuung ustadz.. Dipunterjemahkan ke bahasa jawa.
mugi2 sanes wekdal saget..
mugi2 Allah gampilaken